Tentang Waktu
Waktu berlari. Tahun segera berganti. Sebagian dari kita juga berlari mengejar sesuatu yang ujungnya tak berujung. Tak banyak dari kita dapat berhenti mengejar karena setiap "ujung" ada janji, bernama "pencapaian". Tolok ukurnya bisa dilihat dan diraba: kekuasaan, nama besar, pengakuan, akumulasi modal, kepemilikan, dan lain-lain.
Padahal, pada aras itu, "ujung" adalah fatamorgana. Guru saya mengingatkan, "ujung" adalah neraka. Ia dibangun oleh ketakutan-ketakutan kita.
Kita tak mampu diam karena menghidupi logika kapitalistik, "waktu adalah uang".
Waktu. Teka-teki tentangnya adalah faktor sangat penting bagi perkembangan manusia. Manusia memiliki kesadaran kuat akan "waktu", yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya.
Dengan kesadaran akan "masa lalu" dan "masa depan", manusia menjadi perencana dahsyat dalam mempersiapkan masa depan. Ilmu dan teknologi yang menciptakan peradaban adalah produk kesadaran itu.
Ia mendominasi kehidupan meski tak bisa mengatur kapan matahari terbit dan tenggelam. Juga ada batas yang menghentikannya: kematian.
Tetapi, apakah waktu?
St Agustinus dari Hippo (345-430) dalam Confessions menulis, "Kalau tak seorang pun bertanya kepadaku, aku tahu. Tetapi kalau aku diminta menjelaskan kepada seseorang yang menanyakannya, aku tidak tahu. Namun, aku berani menjawab dengan penuh keyakinan bahwa aku tahu, kalau tiada yang mati, tidak akan ada waktu lalu, kalau tiada yang datang, tak akan ada waktu mendatang, dan kalau tiada yang mengada, tak akan ada waktu sekarang."
Namun, hanya dua yang menghantui manusia: masa lalu dan masa yang akan datang. Kata St Agustinus, "Bagaimana keduanya ada kalau masa lalu kini tiada dan masa depan belum mengada? Maka, yang ’sekarang’ selalu ’sekarang’, dan seharusnya tak sirna sebagai masa lalu. Waktu, sesungguhnya, tak bisa lain, adalah keabadian."
"Sekarang" adalah keabadian.
Para guru menyebutnya sebagai present moment. Ia ada dalam "diam"; pada ayunan kaki kiri dan kaki kanan dalam gerak penuh kesadaran. Tampak ringan, tetapi beratnya seperti Sysyphus menggendong batu ke bukit. Target lebur dalam proses.
Di dalam present moment, tantangan dalam hubungan antarmanusia, seperti pelabelan dan penghakiman, tak ada tempatnya. "You are not your feeling, nor your thinking. The real You is greater, peaceful, accepting and free from fear," begitu kata guru saya.
Present moment hanya mungkin direngkuh kalau kepala tidak ribut. Saya harus terus belajar untuk "melihat" dan "merasakan". Itulah jalan untuk memahami yang disebut para guru sebagai the web of life: apa pun yang saya lakukan terhadap pihak lain, berarti saya melakukannya pada diri sendiri.
Pengalaman adalah guru utama bagi kesadaran. Pesan akan ditemui dalam setiap perjumpaan. Baik dan buruk tak bisa dilihat hanya bungkusnya.
Terima kasih kepada waktu yang memberi ruang sangat luas untuk belajar, dan kepada hidup yang telah menyiapkan begitu banyak bahan pelajaran….
0 komentar:
Posting Komentar